“Potensi konflik dalam pemilu itu, sumbernya terutama berasal dari parpol, sedangkan kita tahu Cak Imin ketua partai. Kita mau bikin pemilu itu pakai berantem atau tidak, itu tergantung pelakunya, yaitu parpol. Jadi kalau mau pemilu damai, parpol harus baik-baik, kalau mau pemilu kisruh, partai bikin aja kisruh,” kata Arif.
“Saya tidak menafikan bahwa potensi kekacauan berasal dari pemilih ya. Tapi saya katakan bahwa pengaruh terbesar berasal dari parpol. Jadi aneh logika ini,” imbuh dia.
Serupa dengan Adi, ia juga menilai wacana penundaan pemilu itu berpeluang berhasil. Dia berkaca pada UU KPK dan Omnibus Law Ciptaker yang tetap digolkan meski menuai penolakan dari publik.
Elite politik, kata dia, seolah begitu mudah menentukan kebijakan jika sudah ada kata sepakat di antara mereka. Tanpa perlu mempertimbangkan aspirasi publik secara matang.
“Revisi UU KPK yang berlangsung hanya dalam kurang dua minggu, dan disepakati UU Ciptaker. Dua UU itu memiliki resistensi yang tinggi dari banyak pihak. Tetapi dua-duanya gol dan tidak butuh waktu lama untuk menggolkannya,” katanya.
“Artinya, dari sisi kesempatan politik, ide Cak Imin bukan mustahil untuk diwujudkan kalau elit menghendaki dan presedennya sudah ada,” ujarnya menambahkan.