“Pasal-pasal di atas mengatur tindakan-tindakan yang merupakan karakter dari pekerjaan jurnalis, yaitu ‘menginformasikan kepada khalayak luas’. Pasal ini akan dengan mudah dipakai oleh orang yang tidak suka kepada jurnalis untuk memprosesnya secara hukum, dengan dalih yang mungkin tidak kuat dan gampang dicari,” lanjut Sasmito.
AJI, kata Sasmito, mendesak agar DPR dan pemerintah lekas menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dalam RKUHP. AJI tidak ingin pasal-pasal penghinaan terhadap presiden terulang kembali pada masa mendatang.
“Sebagai contoh, pada 2003, Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dalam kasus pencemaran nama baik Presiden Megawati Soekarnoputri,” ujarnya.
Sasmito melanjutkan, AJI juga mendesak DPR dan pemerintah untuk transparan dalam pembahasan RKUHP dengan cara segera membuka draf terbaru ke publik. Pelibatan publik merupakan kewajiban yang harus dilakukan DPR dan pemerintah dalam setiap pembuatan regulasi.
AJI turut mendorong penguatan etika jurnalis dan penyelesaian sengketa pemberitaan menggunakan mekanisme yang diatur dalam Undang-undang Pers. Oleh sebab itu, pasal-pasal yang berkaitan dengan persoalan etika seperti Pasal 263 dalam RKUHP tentang kabar yang tidak pasti dan berlebih-lebihan perlu dihapus dari RKUHP.