Partaiku.id – Andy Yentriyani meminta DPR dan Pemerintah memastikan aturan soal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi diatur dalam Rancangan KUHP (RKUHP) agar terintegrasi dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan hal itu diperlukan agar dapat memaksimalkan fungsi UU TPKS yang baru saja disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, (12/4) kemarin. Sebab, aturan pemerkosaan dan aborsi saat ini belum diatur secara rinci dalam UU TPKS.
“Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR RI dan Pemerintah kedepannya memastikan aturan pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi yang komprehensif dalam RKUHP,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (13/4).
Komnas perempuan juga meminta agar dalam RKUHP tersebut nantinya dapat memuat pasal-pasal yang menjamin para korban pemerkosaan dan pemaksaan aborsi untuk dapat mengakses haknya selama penanganan kasus dan pemulihan sebagaimana dimuat dalam UU TPKS.
Di sisi lain, Komnas Perempuan juga menyambut gembira pengesahan UU TPKS yang akhirnya dilakukan oleh DPR dan Pemerintah. Andy menilai, hal tersebut merupakan buah perjuang kolektif dari berbagai elemen masyarakat.
“Juga tidak terlepas dari keberanian korban yang telah menyuarakan dengan berani pengalaman-pengalamannya dalam mengklaim keadilan, kebenaran dan mendapatkan pemulihan,” tuturnya.
Meski begitu, Komnas Perempuan mengingatkan pelaksanaan UU TPKS di lapangan, termasuk penerbitan aturan turunannya masih terus perlu dikawal semua pihak.
Hal tersebut, kata dia, perlu dilakukan agar para korban dan masyarakat luas mendapati payung hukum yang komprehensif.
“Kita semua perlu mengawal pelaksanaan UU TPKS sehingga dapat mencapai tujuan pembentukannya, dan juga memastikan perubahan hukum dan kebijakan lain yang relevan dapat segera mengikuti, termasuk RKUHP,” jelasnya.
Terobosan Hukum
Adapun UU TPKS memuat sejumlah terobosan hukum di dalamnya yaitu dengan mengatur: tindak pidana kekerasan seksual; pemidanaan (sanksi dan tindakan); serta hukum acara khusus yang hambatan keadilan bagi korban pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, termasuk pemastian restitusi dan dana bantuan korban.
Kemudian, penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu dengan memperhatikan kerentanan khusus termasuk dan tidak terbatas pada orang dengan disabilitas.
Selanjutnya mengenai pencegahan, peran serta masyarakat dan keluarga. Terakhir, pemantauan yang dilakukan oleh Menteri, Lembaga Nasional HAM dan masyarakat sipil.
Terkait pengaturan tindak pidana kekerasan seksual, UU TPKS juga mengatur sembilan tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial.
Mulai dari, tindak pidana pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, hingga perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain itu, UU TPKS juga mengakui pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lainnya. Berikutnya, hukum acara dan pemenuhan hak-hak korban akan mengacu pada UU TPKS.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya mengatakan, usai resmi disahkan menjadi UU, pemerintah kini diberi mandat untuk membentuk lembaga baru guna menangani secara khusus mekanisme pemberian restitusi kepada korban kekerasan seksual.
“Maka kemudian ada lembaga baru yang nanti mereka buat yaitu lembaga bantuan dana korban di mana setiap restitusi atau pidana denda dibayarkan pelaku itu dikelola oleh lembaga ini,” kata Willy.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Al Muzammil Yusuf, menyatakan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berbahaya bila revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak segera disahkan.
“Tanpa itu (RKUHP), RUU TPKS dapat bermakna yang membahayakan,” kata Al Muzammil saat menyampaikan interupsi di Rapat Paripurna DPR, Selasa (12/4).
Ia menerangkan, RKUHP merupakan rancangan regulasi yang lengkap karena sudah mengatur persoalan kesusilaan, seperti terkait dengan seks bebas atau zina, kekerasan seksual, hingga penyimpangan seksual.
Oleh karena itu, dia meminta pembahasan RKUHP segera dilanjutkan setelah mandek pada 2019 silam.
“Pimpinan yang sangat saya muliakan, era pimpinan ambilah kesempatan ini, tonggak kedaulatan bangsa, untuk mengembalikan hukum bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila, UUD [1945], dan norma yang hidup di masyarakat,” ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Hiariej atau Eddy menegaskan pemerintah akan memasukkan pasal terkait aborsi dan pemerkosaan ke dalam RKUHP.
“Kita kemudian menyempurnakan rumusan mengenai aborsi dan pemerkosaan dalam RUU KUHP itu,” ujar Eddy pada wartawan di Komplek Parlemen Senayan, Selasa (12/4).
Nantinya, Eddy mengungkap akan menambahkan beberapa pasal termasuk pasal yang dianggap krusial termasuk pemerkosaan dan aborsi.
“[RKUHP] ini bersifat carry over maka kita akui bersama bahwa ada beberapa kekurangan jadi pasti akan ada 1 atau 2 pembahasan termasuk terhadap pasal-pasal yang krusial, termasuk juga terhadap pemerkosaan,” papar Eddy.
Pemerintah bersikukuh memasukkan pemerkosaan dan aborsi ke dalam RKUHP agar dapat mempermudah pembuktian tindak pidana tersebut.
“Itu juga menyesuaikan supaya berbagai modus operandi bentuk kekerasan seksual apapun bisa ditanggulangi dengan sarana hukum yang ada,” tegas Eddy.
Lebih jauh, ia mengakui ada beberapa kekurangan dalam naskah RKUHP yang sudah selesai dibahas dan disahkan di tingkat I. Oleh sebab itu, meski sudah selesai, pemerintah baru menjadwalkan pengesahan UU itu pada Juni nanti.
“Kita sudah mendapat surat dari Komisi III ya, dan itu kita agendakan pada bulan Juni. jadi masuk pada persidangan yang berikutnya,” ucapnya.
(kid)