Adian menilai, mestinya semua pihak dapat mengetahui mana data yang bisa dipercaya, antara hasil survei dan analisis big data yang digunakan elite partai politik atau pejabat. Menurutnya, hasil survei jelas dipaparkan oleh lembaga independen. Sementara, analisis big data dipaparkan oleh ketua umum partai dan politisi yang dinilai sudah pasti tidak independen dan sarat kepentingan politik.
Lebih lanjut, politisi PDI-P itu berpandangan bahwa penyampaian hasil big data juga tidak dipaparkan secara ilmiah. Semestinya, kata dia, dijelaskan dalam paparan tentang alat ukur guna menyimpulkan hasil analisis big data bahwa penundaan pemilu atas kehendak rakyat.
Mulai dari metodelogi yang digunakan, angka responden hingga margin of error termasuk lembaga yang membuat analisis big data.
“Kenapa paparan tersebut penting? Karena rakyat tidak bisa diklaim semena-mena, seolah semua atas kehendak rakyat,” ujarnya.
Menurut peneliti Indikator Politik Bawono Kumoro, meminta pihak-pihak yang melontarkan klaim itu untuk bertanggung jawab membuka data yang mereka punya terkait gagasan itu. “Sebagai bentuk pertanggungjawaban klaim yang disampaikan tersebut tentu harus bisa menunjukkan secara terbuka kepada publik,” kata Bawono, Minggu (13/3).