Partaiku.id – Survei Litbang Kompas Sebanyak 21,6 persen mengatakan polarisasi disebabkan informasi hoaks atau tidak lengkap, 13,4 persen menyatakan akibat kurangnya peran dari tokoh bangsa dalam meredakan perselisihan, dan 5,8 persen menyatakan akibat teknologi media sosial.
Dikutip dari Harian Kompas, Senin (6/6), buzzer, inluencer, atau provokator ada di kedua kubu dan aktif memproduksi konten-konten di media sosial yang memancing respons negatif.
Adapun polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat saat ini merupakan residu dari Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Saat itu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang maju adalah Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Melihat pembelahan yang terus terjadi hingga sekarang, mayoritas responden dari kedua kubu berbeda pilihan capres ini khawatir kondisi ini berlanjut hingga Pemilu 2024 yang akan digelar kurang dari dua tahun lagi.
Berdasarkan survei, 84,6 persen responden setuju bahwa istilah “cebong”, “kampret”, dan “kadrun” harus diakhiri.
Selanjutnya, 90,2 persen responden sepakat kedua kubu mesti menahan diri untuk tidak berkomentar di media sosial yang dapat menimbulkan kebencian/kemarahan.