Partai Amanat NasionalPartai Demokrasi Indonesia PerjuanganPartai DemokratPartai Gerakan Indonesia RayaPartai Golongan KaryaPartai Kebangkitan BangsaPartai Nasdem

Catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK untuk UU TPKS

Catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK untuk UU TPKSPartaiku.id – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyoroti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang belum seutuhnya mengakomodir hak-hak korban. Sebelumnya, rapat paripurna DPR secara resmi mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang. Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2021-2022.

“Hak korban terkait penanganan belum seluruhnya diakomodir, seperti hak atas kemudahan mengakses layanan pengaduan, hak untuk menyampaikan keterangan dan pendapat secara bebas,” ujar Pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referandum, melalui keterangan tertulis, Rabu (14/3).

Ia merinci korban kekerasan seksual juga belum diakomodir terkait hak untuk mendapatkan izin meninggalkan pekerjaan dengan mendapat upah penuh, hak bebas dari pertanyaan menjerat, dan hak untuk tidak mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminasi dan UU TPKS.

Sedangkan, terkait perlindungan, Citra membeberkan beberapa contoh hak yang belum diakomodir seperti hak untuk mendapatkan pemberdayaan hukum dan terlibat dalam proses pelaksanaan perlindungan serta hak untuk mendapatkan layanan rumah aman.

“[Termasuk] hak untuk mendapatkan informasi dalam hal tersangka atau terdakwa tidak ditahan atau terpidana akan selesai menjalani masa hukuman,” sambungnya.

Bahkan, menurut Citra, hak pemulihan korban pun belum sepenuhnya diakomodir. Padahal, pemulihan dianggap sebagai bagian fundamental dalam proses pembahasan UU TPKS. Salah satu yang disebut Citra adalah hak atas pemulihan sosial budaya dan hak atas pemulihan politik.

“Meski sudah mengatur pemulihan secara fisik, psikologi dan ekonomi namun UU TPKS belum menjamin kebutuhan korban dengan rinci,” ucap Citra.

Ia memberikan contoh terkait jaminan atas kebutuhan dasar yang layak bagi korban serta kemudahan akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Catatan LBH APIK untuk UU TPKS

Sementara itu, Koordinator pelaksana Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti pengesahan TPKS jadi harapan baru bagi para pendamping maupun korban kekerasan seksual sebagai payung hukum untuk memperoleh hak atas keadilan.

“Serta memperkuat mandat pencegahan kekerasan seksual baik bagi pemerintah maupun peran serta masyarakat,” ujarnya ketika dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Rabu (13/4).

Hanya saja, Khotimun mengatakan, pengesahan UU TPKS dalam rapat paripurna kemarin masih menyisakan beberapa hal yang yang tidak sesuai harapan. Salah satu terkait tindak kekerasan pemerkosaan yang masih belum terakomodasi dalam UU TPKS.

“Jadi deliknya telah disebutkan di UU TPKS, namun rumusannya direncanakan akan ada di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Itu sebetulnya yang belum sesuai dengan apa yang kita harapkan,” jelasnya.

Khotimun mengatakan, keberadaan aturan yang dipisahkan dalam dua UU yang berbeda tersebut dikhawatirkan akan menyulitkan implementasi hukum di lapangan. Terlebih pembahasan RKUHP di DPR saat ini masih belum menemukan titik terang.

“RKUHP merupakan RUU yang kompleks dengan berbagai isu serta beberapa Pasal yang masih kontroversial di masyarakat, sehingga potensi (delik perkosaan) berlarut-larut untuk disahkan dapat terjadi,” tuturnya.

Apabila kondisi tersebut masih terjadi, Khotimun mengatakan, mau tidak mau penanganan kasus pemerkosaan masih harus menggunakan aturan KUHP yang lama, yakni Pasal 285 s.d. Pasal 288 KUHP.

Padahal menurutnya, aturan ini sudah sejak lama dikritik oleh pelbagai kelompok masyarakat lantaran belum memadai dan tidak sepenuhnya memiliki keberpihakan terhadap korban.

Sebab hanya mengakomodasi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi penis ke vagina yang dapat dibuktikan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi.

Meski begitu, pihaknya tetap mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan UU TPKS yang telah disahkan dalam rapat paripurna di DPR, Selasa (12/4).

Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga mengaku UU TPKS belum sempurna tapi sangat dibutuhkan.

“Meskipun UU TPKS adalah legislasi yang sangat diperlukan, UU ini belum sempurna,” kata Usman sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (13/4).

Senada dengan LBH APIK, ia juga mendesak DPR memastikan pasal-pasal mengenai perkosaan yang bakal diatur dalam RKUHP sesuai dengan UU TPKS dan mengutamakan hak-hak korban.

Usman menyebut pengesahan UU TPKS merupakan momen bersejarah. Selama satu dekade, kata Usman, organisasi pembela hak perempuan, penyintas kekkerasan seksual, dan keluarga korban, begitu gigih menyuarakan pemtingnya UU ini.
Sebagai informasi, embrio UU TPKS kali pertama digagas pada 2012 oleh Komnas Perempuan. Pada 2016, Komnas Perempuan bersama LBH APIK dan Forum Pengada Layanan (FPL) menyelesaikan rancangan UU tersebut dan mulai dibahas di DPR.

Namun, pembahasannya sempat terhalang karena pihak oposisi yang menyebut RUU tersebut pro perzinahan.

Terkait hal itu, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan UU TPKS disahkan berkat kolaborasi seluruh elemen bangsa yang berikhtiar membawa Indonesia keluar dari kedaruratan kekerasan seksual.

Jaleswari mengatakan bahwa proses pembentukan UU TPKS menjadi model terobosan dalam penyusunan produk hukum yang progresif dan non-partisan.

“Model pelibatan berbagai pemangku kepentingan dan koordinasi intensif dengan DPR yang didorong oleh Gugus Tugas adalah best practice yang dapat diterapkan untuk proses pembentukan produk hukum lainnya,” ujar Jaleswari lewat keterangan tertulis, Rabu (13/4).

KPPPA Segera Susun Aturan UU TPKS

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Anak Bintang Puspayoga menegaskan akan segera mentusun peraturan turunan dari UU TPKS sesuai mekanisme yang berlaku.

“Pemerintah khususnya kami KPPPA siapa melaksanakan UU ini dengan sebaik baiknya mengingat UU ini sangat komperhensif,” kata Bintang dalam diskusi daring, Rabu (13/4).

“Prioritas yang akan kami lakukan adalah akan segera menyusun peraturan pelaksanaan undang undang ini sesuai mekanisme yang berlaku,” imbuhnya.

Selain itu, ia juga mengaku pihaknya akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sebab, ia menilai UU ini sangat lah penting.

Apa lagi, kata dia tingkat kekerasan seksual masih tinggi. Berdasarkan catatan KPPPA, 1 dari 19 perempuan berusia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual pada 2021.

Selain itu, berdasarkan survei nasional pengalama hidup anak dan remaja tahun 2021, 4 dari 100 laki laki usia 13-17 tahun di perkotaan juga pernah mendapatkan kekerasan seksual.

“Dan 8 dari 100 perempuan usia 13-17 di perkotaan pernah mengalami kekerasan seksual di perkotaan,” ujarnya.

Terkait itu, ia berkata, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan kemeneterian dan lembaga terkait serta pemerintah daerah untuk memastikan UU tersebut berjalan baik.

“Kemudian melakukan sosialisiaoi uu ini. berkoordinasi dengan K/L, Pemprov, Pemda, Pemkab, Pemkot untuk memastikan aspek pencegahan dan penyelenggaraan pelayanan terpadu,” ucap dia.

Bintang juga menegaskan akan menggaet Kementerian Keungan (Kemenkeu) untuk membahas bantuan terhadap korban kekerasan seksual. Namun, Bintang tak menjelaskan secara rinci apakah pembahasan itu juga di dalamnya akan membahas restitusi korban.

“[KPPPA akan] berkoordinasi dengan kemenkeu terkait dana bantuan korban,” kata Bintang.

Selain dengan Kemenkeu, pihaknya juga mengaku akan berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham) untuk pendidikan aparat hukum dan pendamping korban kekerasan seksual.

“Dan [berkoordinasi dengan] Kemenkumham terkait pendidikan dan pelatihan aparat hukum dan pendamping,” ucap dia.

Polisi Siap Jerat Pelaku Kekerasan Seksual

Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan bahwa aturan itu diharapkan dapat memperkuat Korps Bhayangkara untuk menjerat siapa pun yang terbukti melakukan kejahatan seksual.

“Dengan adanya UU TPKS diharapkan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat menjerat siapa saja yang terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam UU tersebut,” kata Dedi saat dihubungi, Rabu (13/4).

Ia mengatakan bahwa upaya penegakkan hukum menjadi penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku. Selain itu, kata dia, Polri juga dapat berperan lebih lagi untuk memitigasi kekerasan seksual terhadap korban melalui penerbitan UU tersebut kelak.

Dedi pun menjelaskan bahwa pihaknya tengah menggodok usulan pembentukan Direktorat Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Bareskrim. Nantinya, unit kerja itu akan dipimpin oleh jabatan perwira tinggi (Pati) Polri dengan pangkat Brigadir Jenderal.

Saat ini, unit kerja PPA di tingkat Mabes Polri masih berada di bawah Subdirektorat.

“Sudah disiapkan ajuan atau usulannya. Karena akan dibahas bersama Kemenpan, Kumham dan Setneg,” jelas Dedi.
(DAL/yul/mjo)

Show More
Back to top button

Adblock Detect

Please consider supporting us by disabling your ad blocker