Hanya saja, Khotimun mengatakan, pengesahan UU TPKS dalam rapat paripurna kemarin masih menyisakan beberapa hal yang yang tidak sesuai harapan. Salah satu terkait tindak kekerasan pemerkosaan yang masih belum terakomodasi dalam UU TPKS.
“Jadi deliknya telah disebutkan di UU TPKS, namun rumusannya direncanakan akan ada di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Itu sebetulnya yang belum sesuai dengan apa yang kita harapkan,” jelasnya.
Khotimun mengatakan, keberadaan aturan yang dipisahkan dalam dua UU yang berbeda tersebut dikhawatirkan akan menyulitkan implementasi hukum di lapangan. Terlebih pembahasan RKUHP di DPR saat ini masih belum menemukan titik terang.
“RKUHP merupakan RUU yang kompleks dengan berbagai isu serta beberapa Pasal yang masih kontroversial di masyarakat, sehingga potensi (delik perkosaan) berlarut-larut untuk disahkan dapat terjadi,” tuturnya.
Apabila kondisi tersebut masih terjadi, Khotimun mengatakan, mau tidak mau penanganan kasus pemerkosaan masih harus menggunakan aturan KUHP yang lama, yakni Pasal 285 s.d. Pasal 288 KUHP.
Padahal menurutnya, aturan ini sudah sejak lama dikritik oleh pelbagai kelompok masyarakat lantaran belum memadai dan tidak sepenuhnya memiliki keberpihakan terhadap korban.