Sebab hanya mengakomodasi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi penis ke vagina yang dapat dibuktikan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi.
Meski begitu, pihaknya tetap mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan UU TPKS yang telah disahkan dalam rapat paripurna di DPR, Selasa (12/4).
Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga mengaku UU TPKS belum sempurna tapi sangat dibutuhkan.
“Meskipun UU TPKS adalah legislasi yang sangat diperlukan, UU ini belum sempurna,” kata Usman sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (13/4).
Senada dengan LBH APIK, ia juga mendesak DPR memastikan pasal-pasal mengenai perkosaan yang bakal diatur dalam RKUHP sesuai dengan UU TPKS dan mengutamakan hak-hak korban.
Usman menyebut pengesahan UU TPKS merupakan momen bersejarah. Selama satu dekade, kata Usman, organisasi pembela hak perempuan, penyintas kekkerasan seksual, dan keluarga korban, begitu gigih menyuarakan pemtingnya UU ini.
Sebagai informasi, embrio UU TPKS kali pertama digagas pada 2012 oleh Komnas Perempuan. Pada 2016, Komnas Perempuan bersama LBH APIK dan Forum Pengada Layanan (FPL) menyelesaikan rancangan UU tersebut dan mulai dibahas di DPR.