“Ini membuktikan konsistensi memberikan kesempatan kepada semua anak bangsa terlepas dari suku agama dan ras, untuk bisa mengabdi kepada bangsa. Ada juga orang Tionghoa yang duduk di pimpinan komisi,” kata Charles.
Charles menyadari banyak partai politik yang mengaku dirinya sebagai Pancasilais. Namun, Charles melihat praktik di lapangan bahwa PDI Perjuangan yang benar-benar merealisasikannya.
“Kalau lihat track record PDI Perjuangan adalah satu partai yang mengusung, bukan hanya itu, tetapi memperjuangkan ideologi Pancasila dan ajaran Bung Karno. Kata-kata Bung Karno bahwa Indonesia bukan milik satu golongan, satu agama, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Karena itu, PDI Perjuangan adalah rumah besar kaum nasionalis,” ujar Charles.
Charles mengingat saat dirinya remaja dan tumbuh pada era Orde Baru. Saat itu, Charles dan warga Tionghoa lainnya dikekang dan tidak diperbolehkan menunjukkan kebudayaannya. Seperti contoh, peragaan barongsai dilarang pada era Soeharto itu.
“Sedangkan pascareformasi apalagi setelah Bu Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, beliau mengeluarkan Keppres yang menjadikan imlek libur nasional. Maka menjadikan budaya Tionghoa bisa disajikan kepada masyarakat umum. Dan tentunya budaya Tionghoa itu bukan budaya asing secara sejarah seperti yang disampaikan Sejarawan Bonnie Triyana. Masyarakat Tionghoa sudah ada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu di Indonesia. Dan sekarang menjadi bagian dari kekayaan budaya nusantara,” beber Charles.