Partai Golongan Karya

Dua Calon Ketua Umum Golkar Sama-Sama Punya Solosi Selesaikan Kemelut Golkar

Pengamat Politik menilai kemelut di tubuh Partai Golkar yang terjadi menjelang Musyawarah Nasional (Munas) 2019 lantaran tokoh yang akan bertarung memperebutkan posisi ketua umum memiliki kapasitas yang tidak jauh berbeda. Kemelut yang terjadi menurutnya hanyalah riak-riak kecil dalam partai sebesar Golkar.

“Saya melihat konflik itu efek dari kesetaraan tokoh. Mereka tak punya tokoh tunggal. Maka saya melihat ini positif saja, agar partai lebih matang,” kata Ray Rangkuti dalam diskusi publik Indonesia Political Studies (IPS) bertema ‘Kemelut Golkar Menjelang Munas’ di Jakarta, Kamis (26/9/2019).

Saat ini, sudah dua nama yang dipastikan akan bertarung dalam Munas Partai Golkar 2019, yaitu Bambang Soesatyo (Bamsoet) dan Airlangga Hartarto. Ray menyakini konflik di Partai Golkar tidak akan menjadi besar, karena baik Bamsoet maupun Airlangga sama-sama punya solusi menyelesaikan masalah.

Ray melihat baik Bamsoet ataupun Airlangga mempunyai basis dan karisma masing-masing. Jika dilihat dalam permainan, kata dia, calon ketua umum Golkar itu yang satunya agak keluar, sedangkan yang satu lagi ke dalam.

“Kalau Bamsoet, lebih banyak membangun kekuatan dari luar. Mungkin kekuatan itu untuk dibawa masuk ke dalam. Saya kira dalam dua hari ini, momentum untuk mengamati gerakan mahasiswa itu menjadi momentum bagi Bamsoet. Sehingga Bamsoet-lah yang disorot dalam aksi mahasiswa tersebut,” ujar Ray.

Menurut dia, tentu ada tanggung jawab moral bagi Bamsoet, tapi di saat yang sama dia juga tengah mendapat citra sebagai calon ketum Golkar. Ini berbeda dengan Airlangga, yang terlihat lebih fokus melakukan konsolidasi kekuatan ke dalam.

Lebih jauh, Ray menuturkan, ada satu variabel yang harus diperhatikan dalam menentukan siapa pemenang dalam Munas Golkar nanti. Variabel itu adalah variabel eksternal, dalam hal ini keterlibatan Presiden Jokowi.

“Jadi kemana kira-kira presiden punya kecenderungan dari dua kandidat ini? Keduanya butuh itu, baik Bamsoet dan Airlangga. Sampai saat ini presiden menjaga diri agar tak terlalu terlihat. Sampai nanti jelang pemilihan baru akan terlihat. Faktor ini akan menentukan juga,” ucapnya.

Pada kesempatan sama, Fungsionaris DPP Partai Golkar Mirwan Bz Vauly mengatakan, Munas Partai Golkar 2019 sebenarnya tidak selalu panas dan banyak kemelut. Bahkan, rapat besar itu kadang seperti perayaan pesta lima tahunan saja.

“Memang menjadi kemelut kalau ada sesuatu atau masalah yang oleh kader dianggap keliru. Karena ada beberapa orang tak mengindakan aturan organisasi,” tuturnya.

Di Partai Golkar, kata Mirwan, banyak aturan yang mestinya mengikat semua kader dan pengurus. Keputusan dan sikap itu harus keluar dari kemufakatan. Bukan dari keputusan seorang ketua umum.

“Jadi Golkar selalu ngambil keputusan melalui kemufakatan. Itulah demokrasi yang ditontonkan Golkar pasca-reformasi. Maka tak ada satu orang yang berkuasa di Golkar, yang berkuasa adalah kemufakatan,” kata dia.

Direktur Eksekutif IPS, Alfarisi Thalib berpendapat, Partai Golkar tetap jaya dan kuat walaupun banyak cobaan dan konflik. Partai Golkar tidak gagal melajukan kaderisasi, karena struktur mereka sudah berjalan. Kekuatan utama Golkar juga bukan personal ataupun kader.

“Tapi yang bikin Golkar kuat adalah sistem partai, aturan partai, dan ideologi partai. Walaupun dihajar, katakanlah oleh pecahannya, tapi tetap dapat suara banyak,” ujarnya.

Alfarisi menjelaskan, kemelut di Partai Golkar menjelang Munas 2019 terjadi karena beberapa faktor. Pertama, terkait dengan tata kelola partainya. Sebab, sejak 2014 sampai sekarang, Partai Golkar terus menerus silih berganti, sehingga muncullah dualisme kepemimpinan. Setelah dualisme itu mereda, muncul lagi isme-isme yang lain.

“Kedua, selain pengelolaan partai, ada lagi persoalan komunikasi bagi elite-elite partai terhadap kader kader partai secara struktural, fungsional di dalam tubuh partai politik, baik dari lingkaran politik maupun dari pimpinan pusat ke pimpinan daerah,” kata Alfarisi.

Sementara, yang ketiga, persoalan kepemiminan dalam partai sangat menentukan. Menurut Alfarisi, di negara-negara Barat leadership itu menjadi simbol dari partai politik sehingga mampu bertahan. Jika elite partai tidak mampu memberikan edukasi yang baik secara politik di dalam kader, partai yang mereka kelola bakal mengalami ejukalasi kepemimpinan politik.

“Sehingga relatif partai tersebut, meskipun partai besar, maka dia dianggap partai-partaian, dianggap besar dari situasi politik, namun dalam proses lobi-lobi politik, dia tidak dianggap,” ujar dia.

Show More
Back to top button

Adblock Detect

Please consider supporting us by disabling your ad blocker