Sebelum kasus Nadiem, Fadli mengingatkan soal riwayat kebijakan spekulatif pemerintahan dalam bidang pendidikan. Pertama, kebijakan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang sempat mengubah nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Departemen Pendidikan Nasional.
Nomenklatur kebudayaan saat itu dihilangkan dan dimasukkan ke Departemen Pariwisata. Fadli menilai itu keliru karena secara filosofis pendidikan adalah bagian konstitutif, jika bukan integratif, dari kebudayaan.
Ia mengatakan kekeliruan konseptual itu baru dikoreksi pada periode kedua pemerintahan Presiden ke-6 RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kembali menggabungkan kebudayaan dan pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kedua, lanjutnya, kebijakan memecah kementerian pendidikan menjadi dua, yaitu yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah, dan yang menangani pendidikan tinggi.
Pemisahan itu, kata dia, justru membuat kebijakan pendidikan di Indonesia makin terpecah di banyak lembaga. Padahal sebelum ada pemisahan pun, manajemen pendidikan sudah tersebar di banyak sekali lembaga.
Ia mencontohkan Kementerian Agama yang sejak lama membawahi sekolah dan perguruan tinggi keagamaan. Begitu juga Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah lembaga lain yang masing-masing mengelola lembaga pendidikan di bawahnya.