Jika dalam tenggang waktu tersebut tidak diperbaiki, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. DPR dan pemerintah kemudian menempuh langkah revisi UU PPP, tetapi tidak memperbaiki UU Cipta Kerja.
Revisi UU PPP di antaranya memuat soal definisi metode omnibus law, perencanaan pembentukan UU dengan metode omnibus law, dan perbaikan teknis yang telah diserahkan kepada presiden atau yang belum diserahkan kepada presiden.
“Bagi saya UU tersebut jelas merupakan cara untuk mengabsahkan UU Cipta Kerja yang cacat berdasarkan putusan MK,” ujar Feri.
Berbagai kelompok masyarakat sipil juga mengkritik langkah pemerintah dan DPR yang buru-buru merevisi UU PPP. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), M Djadijono, menilai DPR dan pemerintah tidak memahami seutuhnya putusan MK.
“Keputusan pembahasan tingkat satu terhadap revisi UU PPP tersebut merupakan langkah DPR dan pemerintah yang sangat ceroboh dan tidak memahami amar putusan MK tertanggal 25 November 2021,” ujar Djadijono.
Kelompok buruh yang menggelar aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu juga menolak revisi UU PP.