Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat—dengan catatan bahwa ke depan pasal tersebut harus dimaknai bahwa:
“Pemungutan suara untuk memilih DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden dilakukan secara serentak. Kemudian, paling cepat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR dan presiden/wakil presiden, dilakukan pemungutan suara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah di seluruh tingkat.”
Putusan tersebut berdampak besar terhadap desain pemilu Indonesia di masa depan, yang sebelumnya menyatukan pemilu nasional dan lokal dalam satu waktu. Kini, penyelenggaraan pemilu dipisahkan menjadi dua tahap, yang berpotensi mengubah peta politik dan teknis penyelenggaraan pemilu di berbagai daerah.
Ganjar menilai, perubahan ini perlu dibahas lintas partai agar seluruh aktor politik memiliki pemahaman dan sikap yang seragam dalam menindaklanjuti keputusan MK.
“Penting ada kesamaan pandang sebelum masuk ke tahap legislasi. Jangan sampai perubahan ini malah menimbulkan persoalan baru,” pungkasnya.