‘’Kami melihat tidak ada argumentasi yang rasional dari Pemerintah terkait penetapan kegentingan yang memaksa yang menjadi latarbelakang hadirnya Perppu ini. Sehingga kita perlu bertanya, apakah Perppu Cipta Kerja ini hadir karena ‘Kegentingan Memaksa’ atau ‘Kepentingan Penguasa’?’’
Ketiga, FPD menilai bahwa hadirnya Perppu Cipta kerja bukan solusi permasalahan ketidakpastian hukum dan ekonomi di Indonesia. Terbukti, pasca terbitnya Perppu ini, masyarakat dan kaum buruh masih berteriak dan menggugat lagi tentang skema upah minimum, aturan outsourcing, PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), aturan PHK, TKA, skema cuti, dan lainnya.
‘’Yang dibutuhkan dalam UU Cipta Kerja adalah perbaikan, tidak hanya dari sisi proses formil namun juga perbaikan isi substansinya agar lebih berpihak kepada rakyat. Janganlah kita terjerumus ke dałam lubang yang sama,’’ papar Hinca.
Catatan keempat, Perppu Cipta Kerja mencerminkan bergesernya semangat Pancasila utamanya sila keadilan sosial (social justice) ke arah ekonomi yang kapitalistik dan mengarah neo-liberalistik. Bahwa negara berkewajiban menghadirkan relasi Tripartit (pengusaha, pekerja, dan pemerintah) yang harmonis, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.