“Rakyat bisa chaos. Bukan tidak mungkin TNI Polri akan dijadikan alat untuk membungkam ketidaksetujuan rakyat,” ucap Jovan.
Berangkat dari itu, Jovan menyatakan bahwa sejarah mengajarkan bahwa situasi kerusuhan atau chaos bisa terjadi bila rakyat terus ditekan dan ditakut-takuti.
Dia pun menyarankan, para pejabat pemerintahan saat ini yang tengah berupaya untuk mengutak-atik dan mengkhianati amanat reformasi untuk belajar dari sikap negarawan Megawati dan Paloh.
Jovan menambahkan, pergantian kekuasaan adalah sesuatu yang alamiah dalam sejarah, dan sudah dijamin dalam konstitusi.
“Sebaiknya belajar dari Megawati dan Surya Paloh. Biaya politik dan sosialnya akan terlalu besar,” katanya.
Sebelumnya, Luhut mengklaim big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan hasil hitung empat lembaga survei.
Dia juga mengklaim pemilih Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PDIP mendukung wacana tersebut. Meskipun begitu, ketiga partai politik tersebut sudah menyatakan menolak usulan penundaan Pemilu 2024. Luhut mengklaim rakyat tidak mau uang Rp110 triliun dipakai untuk menyelenggarakan pemilu serentak.