Koalisi menilai pasal itu tidak mencerminkan bentuk pelindungan, tapi justru menjatuhkan nilai keterangan dari saksi atau korban penyandang disabilitas. Mereka melihat draf yang ada justru menjatuhkan nilai keterangan dari saksi atau korban penyandang disabilitas.
Koalisi menilai, aturan itu berlebihan karena tanpa dituliskan pun hakim wajib melakukannya terhadap keterangan dari saksi atau korban manapun, baik disabilitas maupun nondisabilitas.
“Dengan pencantumannya dalam pasal ini menunjukan bahwa pembentuk RUU TPKS sudah memandang rendah terhadap nilai keterangan dari saksi atau korban penyandang disabilitas. Hal itu merupakan bentuk dari tindakan diskriminasi,” ujar koalisi.
Kemudian, draf Pasal 25 ayat 5 yang mengatur, ‘Dalam hal Saksi dan/atau Korban merupakan Penyandang Disabilitas mental dan/atau intelektual, hakim wajib mempertimbangkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa atas kecakapan mental dan/atau intelektual Saksi dan/atau Korban untuk menjalani proses peradilan pidana dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan Saksi dan/atau Korban tersebut’.
Koalisi menilai, pembentuk RUU TPKS keliru memahami dan menempatkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa sebagai bentuk dari penilaian personal. Seharusnya, kata koalisi, hasil pemeriksaan itu dijadikan oleh hakim sebagai dasar menyediakan akomodasi yang layak bagi saksi atau korban penyandang disabilitas.