“Jadi bisa kita hemat minimal Rp88 triliun. Bayangkan kalau Rp88 triliun kalau kita bangun kampus itu bisa berapa ratus. Kalau kita berikan ke beasiswa untuk mahasiswa S1, yang ingat sekarang kita sebenarnya mengalami krisis pendidikan tinggi,” paparnya.
Pihaknya pun menilai keunggulan lain dari mekanisme e-voting blockchain untuk pemilu yakni keamanan yang lebih baik ketimbang pemungutan suara konvensional. Negara maju seperti Jerman, katanya, telah beralih ke mekanisme ini menyusul munculnya isu transparansi dan keamanan dari cara konvensional.
“Dengan blockchain yang sistemnya disentralisasi insyallah itu secara IT hampir mustahil dibobol. Jadi isu keamanan justru kita membawa semangat pemilu yang jujur,” tegasnya.
Pihaknya menilai seandainya mekanisme pemilu lama dipertahankan, maka isu pelanggaran bakal masih ada. Berkaca pada pengalaman 2019 lalu, imbuhnya, total ada 20 ribu laporan bahkan ke Bawaslu.
“Kemudian jika dengan mekanisme yang sama (konvensional) itu pasti anggaran pasti membengkak. Kita lihat anggaran sekarang Rp110 triliun yang itu adalah 25 kali lipat Pemilu 2004 dan 4 kali lipat dari Pemilu 2019,” ucapnya.