“Dulu pada 2003 Papua dimekarkan menjadi dua tanpa didahului dengan pembentukan MRP. Sekarang Papua menjadi lima provinsi. Ini kebijakan model apa? Sementara jika rakyat bersikap kritis, dituduh separatis, dilabel teroris. Pemekaran wilayah harus dibatalkan,” ujarnya.
Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait juga mengkritik keputusan tersebut. Menurutnya, pembentukan tiga provinsi baru tersebut jelas tidak cermat, cacat proses, tanpa partisipasi orang asli Papua (OAP) dan juga tanpa konsultasi dengan MRP yang merupakan lembaga representasi kultural OAP.
“Ini betul-betul mencederai semangat otonomi khusus. Pembuatan kebijakan sepihak sama sekali tidak mendidik publik,” kata Yoel.
Yoel mengatakan kebijakan ini justru mempertontonkan pengebirian otonomi dan hak asasi orang asli Papua, terutama untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang berdampak pada hidup mereka. Di sisi lain, RUU itu didasari pada UU 2/2021 yang materinya cacat substansial dan sedang diuji di MK.
“Pemekaran seharusnya ditunda sampai MK memutuskan,” ujarnya.
Rencana penambahan provinsi itu diatur dalam RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah yang disahkan oleh Baleg DPR dalam rapat pleno pada Rabu (6/4). Nantinya sejumlah kabupaten bakal masuk ke dalam tiga provinsi baru tersebut.