“Apakah politik bermusyawarah sudah bisa dijalankan di Indonesia hari ini? Tidak,” kata Eka, Kamis (13/1).
Menurut Eka, meskipun politik bermusyawarah atau politik deliberatif tengah digencarkan dan dikembangkan politik dunia, namun Indonesia hari ini sangat tidak mendukung sistem yang menganut azaz permusyawarahan seperti itu.
Dalam politik permusyawarahan, Eka mengatakan butuh beberapa keterampilan yang selaras dengan prinsip kesejahteraan dan kesetaraan, di mana siapapun dapat memiliki kesempatan yang sama dalam bersuara dan mengemukakan pendapatnya.
Ironisnya, kata dia, kesempatan yang seperti itulah yang hari ini tidak lagi atau sangat minim ditemukan di Indonesia. Ketika ada yang berpendapat berbeda, buru-buru dipandang radikal, pemecah belah, dan penghasut yang persis dengan sistem pada Orde Baru dulu.
“Ketika mereka mengatakan yang berbeda, dianggap mereka radikal, memecah belah, dianggap menghasut, samalah dengan pada jaman baru, yang dianggap sebagai komunis,” ujar Ketua Jurusan Sosiologi UNP itu.
Akibatnya, Eka mengatakan semua orang akan merasa terhambat hak deliberatifnya, sehingga kurangnya ranah diskusi dan kesulitan dalam menyampaikan pendapat. Kebebasan berpendapat semua orang itu seharusnya dijamin negara, namun saat ini semua orang merasa dikekang.