Partai Amanat NasionalPartai Demokrasi Indonesia PerjuanganPartai DemokratPartai Gerakan Indonesia RayaPartai Golongan KaryaPartai Kebangkitan BangsaPartai Nasdem

Panja: Mempertanyakan Dalih Hapus Aborsi dan Pemerkosaan dari RUU TPKS

Panja: Mempertanyakan Dalih Hapus Aborsi dan Pemerkosaan dari RUU TPKSPartaiku.id – Tim Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) DPR menyetujui usulan pemerintah untuk menghapus aturan soal pidana pemerkosaan dan aborsi dari draf rancangan perubahan beleid tersebut. Dalam rapat dengan pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Sharif Omar Hiariej itu, usulan untuk menghapus pasal pemerkosaan dan aborsi dari RUU TPKS karena dua poin tersebut telah diatur dalam UU Kesehatan dan menyusul akan diatur pula lewat RKUHP.

Menurut Eddy, sapaan akrab Edward, penghapusan tindak pidana pemerkosaan dan aborsi dari RUU TPKS dilakukan untuk menghindari tumpang-tindih antara peraturan perundang-undangan.

“Korban pemerkosaan tetap diperbolehkan untuk aborsi di dalam UU Kesehatan. Terkait tindakan aborsi, nanti sepenuhnya merujuk pada UU Kesehatan saja,” ucap Ketua Tim Panja RUU TPKS mengutip pernyataan Eddy, Minggu (3/4).

Namun, keputusan DPR dan pemerintah tersebut menuai kritik. Komisioner Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) Alimatul Qibtiyah menilai rencana DPR yang akan mengatur pasal pemerkosaan dan aborsi lewat RKUHP menggantung.

Alima membantah pengaturan dua poin tersebut dalam RUU TPKS akan tumpang tindih, sebab hal itu bisa diatur kemudian.

Sementara, menurut dia, selama RKUHP belum disepakati, keputusan untuk menggantungkan pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi justru akan terus merugikan korban terutama perempuan.

Pemerintah lewat Wamenkumham sebelumnya menargetkan RKUHP akan disahkan pada Juni mendatang. RUU yang sempat menuai penolakan massal dari masyarakat sipil pada 2019 itu kini pada tahap pengesahan tingkat satu di pleno DPR, sebelum resmi menjadi undang-undang lewat mekanisme rapat paripurna.

Menurut Alima, DPR dan pemerintah mestinya mempertimbangkan ulang memasukkan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dalam RUU TPKS sebagai penguatan payung hukum. Sebab, karena hanya lewat RUU TPKS korban bisa mendapat jaminan pemulihan dan perlindungan.

“Dengan tujuan menguatkan payung hukum, maka mempertimbangkan ulang pengaturan tentang perkosaan dan pemaksaan aborsi perlu menjadi salah satu langkah utama,” kata dia, Selasa (5/4).

Alima menerangkan kasus kekerasan seksual termasuk tertinggi yang diterima Komnas Perempuan selama 2021, mencapai hampir 30 persen. Pihaknya menduga jumlah itu lebih tinggi, karena mayoritas dari kekerasan seksual merupakan kasus pemerkosaan.

Sedangkan, bentuk kekerasan lain seperti pelecehan tak banyak dilaporkan masyarakat. Ia menduga, masyarakat terutama perempuan, belum sepenuhnya terbuka dan berani pelecehan seksual yang mereka terima.

Sayangnya, kata Alima, dari jumlah laporan kekerasan seksual yang dicatat Komnas Perempuan, hanya sekitar 5 persen yang selesai hingga proses hukum.

“Nah, dari 30 persen itu yang betul-betul tuntas itu kecil sekali. Kurang dari 5 persen kalau yang saya lihat itu. Jadi, kadang juga agak susah juga,” katanya.

Menurut Alima, hal itu terjadi karena KUHP belum mengatur dengan jelas soal pasal pemerkosaan.

Dia mengatakan, KUHP saat ini mendefinisikan pemerkosaan hanya proses masuknya kelamin laki-laki ke perempuan. Definisi itu menurut membuat korban kesulitan membuktikan kekerasan seksual yang mereka alami.

“Jadi kalau perkosaan itu menggunakan alat yang lain, tidak dengan alat reproduksi kadang tidak dianggap sebagai perkosaan. Apalagi harus dibuktikan dengan sperma dan sebagainya,” katanya.

“Padahal orang kalau sudah diperkosa inginnya segera bersih. Gitu kan. Sehingga kadang jadi susah untuk membuktikannya itu,” tambah Alima.

Sementara itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengkritik keputusan pemerintah dan DPR menghapus ketentuan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dari draf RUU TPKS.
Sebaliknya, kata Maidina, pihaknya justru mendorong agar pengaturan soal pemerkosaan cukup diatur lewat RUU TPKS, bukan RKUHP.

Tak hanya pasal pemerkosaan, ICJR juga mendorong pemaksaan aborsi diatur lewat RUU TPKS. Jika karena dalih tumpang tindih aturan, Maidina menyebut ada bentuk kekerasan seksual lain yang juga diatur dalam UU lain di luar RUU TPKS.

Sehingga, kata dia, dalih tumpang tindih aturan untuk menghapus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dari RUU TPKS tak relevan.

“Hal yang sama juga tentang pemaksaan aborsi, iya memang diatur dalam KUHP juga, tapi di RUU TPKS yang kemarin disahkan, ada juga listing kekerasan seksual di UU lain kan,” kata Maidina saat dihubungi, Selasa (5/4).

Pihaknya Khawatir selama RKUHP belum disahkan, maka jenis kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan aborsi hanya dikategorikan sebagai perbuatan cabul. Sebab, KUHP hanya mendefinisikan perbuatan cabul selama alat vital laki-laki tak dipenetrasikan ke vagina.

Konsekuensinya, hukuman terhadap pelaku akan lebih ringan. Selain itu, kata dia, korban juga tidak akan mendapat perlindungan hingga pemulihan sesuai hukum yang telah diatur dalam RUU TPKS.

“Implikasinya hukumannya akan lebih ringan. Kalau pemaksaan aborsi bukan sebagai kekerasan seksual dalam RUU TPKS, korban pemaksaan aborsi tidak akan mendapatkan hak dan hukum acara sesuai RUU TPKS,” kata Maidina.

Dalam kajian bersamanya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) menilai ada ketidakjelasan mengenai tingkatan perbuatan yang dilarang dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Kedua organisasi itu mengatakan beberapa unsur pidana yang diatur dalam RUU TPKS mirip. Menurut mereka, hal itu perlu ditinjau kembali dan dilakukan penyesuaian.

“Sebelumnya telah disepakati DIM 73 tentang pelecehan seksual fisik dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya, DIM 74 tentang pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa, DIM 82 tentang pemaksaan perkawinan, dan DIM 100 tentang perbudakan seksual,” bunyi keterangan resmi ICJR, yang dikutip dari situs resmi ICJR, Senin (4/4).

“Jika dilihat dalam rumusan yang sudah disepakati dalam nomor-nomor DIM tersebut, terdapat ketidakjelasan mengenai tingkatan perbuatan yang dilarang, yang mana masing-masing perbuatan tersebut rumusan unsur pidananya mirip. Maka harus ditinjau ulang perumusannya,” tulis keterangan tersebut.

Dua organisasi itu pun menyarankan beberapa tingkatan itu disusun mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, dimana pada tingkat 1 ditempati oleh pelecehan seksual fisik (hanya 1 ayat dalam DIM 72), kemudian tingkat 2 yaitu eksploitasi seksual seperti pemanfaatan organ tubuh secara seksual berdasarkan relasi kuasa dengan adanya keuntungan materiil atau immateriil.

Lalu tingkat 3 yaitu perbudakan seksual dengan perbuatan pemanfaatan organ tubuh secara seksual berdasarkan relasi kuasa dengan adanya keuntungan materiil atau immaterial disertai dengan pembatasan ruang gerak secara fisik. Serta tindak pidana berbeda yaitu pemaksaan perkawinan.

Sementara DIM 74 tentang pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa, menurut mereka harus dihapus sebab muatan dalam pasal tersebut dinilai tumpang tindih dengan substansi pada pasal terkait Pemaksaan Perkawinan yang sudah mengatur secara khusus hubungan perkawinan.

“Kendatipun, dalam konteks hubungan di luar perkawinan, muatan pasal pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa (DIM 74) juga tumpang tindih dengan rumusan Pasal Perbudakan Seksual (DIM 100),” tulis ICJR.

Lembaga advokasi itu juga menekankan pada rumusan pasal Pemaksaan Perkawinan perlu memuat unsur yang jelas dan ketat soal ketiadaan persetujuan dalam perkawinan.

Seperti misalnya ketidakberdayaan korban, ketidakcakapan korban untuk memahami dampak dari terikat dalam suatu perkawinan, serta perkawinan yang tidak diketahui oleh korban atau perkawinan yang dilakukan berdasarkan tipu daya, penjeratan hutang, maupun ancaman kekerasan terhadap diri atau keluarga.

Lebih lanjut, ICJR dan PUSKAPA juga menyinggung soal aturan barang bukti yang ditetapkan dalam DIM No. 171. Menurut mereka, aturan tersebut berpotensi disalahgunakan dan melanggar prinsip KUHAP. Sebab, dengan aturan itu, orang dapat dengan mudah dipidana hanya menggunakan bukti yang minim.

“Ketentuan ini membahayakan prinsip peradilan yang adil. Agaknya tidak perlu memasukkan rumusan DIM No. 171. cukup pengaturan 1 saksi diperbolehkan jika disertai dengan alat bukti lain, namun alat bukti lain dijamin menyertakan alat bukti visum psikiatrikum atau surat keterangan pemeriksaan psikologis korban,” demikian tertulis dalam laporan kajian mereka.

Selain itu, ihwal hukum acara dan perlindungan korban, menurut keduanya perlu ditekankan kembali. Artinya, bila UU TPKS sudah berlaku, maka seluruh kasus-kasus kekerasan seksual yang ada saat ini diselesaikan dengan UU yang baru. Dan, itu yang diyakini sulit dilakukan apabila pasal tertentu dihapus dari RUU TPKS dengan asumsi sudah diatur dalam KUHP.

“Hal ini penting diakomodasi untuk menjamin kepentingan kemudahan korban, namun tidak untuk berlakunya delik/tindak pidana,” tulis mereka.

(thr, blq/kid)

 

Show More
Back to top button

Adblock Detect

Please consider supporting us by disabling your ad blocker