Sedangkan, bentuk kekerasan lain seperti pelecehan tak banyak dilaporkan masyarakat. Ia menduga, masyarakat terutama perempuan, belum sepenuhnya terbuka dan berani pelecehan seksual yang mereka terima.
Sayangnya, kata Alima, dari jumlah laporan kekerasan seksual yang dicatat Komnas Perempuan, hanya sekitar 5 persen yang selesai hingga proses hukum.
“Nah, dari 30 persen itu yang betul-betul tuntas itu kecil sekali. Kurang dari 5 persen kalau yang saya lihat itu. Jadi, kadang juga agak susah juga,” katanya.
Menurut Alima, hal itu terjadi karena KUHP belum mengatur dengan jelas soal pasal pemerkosaan.
Dia mengatakan, KUHP saat ini mendefinisikan pemerkosaan hanya proses masuknya kelamin laki-laki ke perempuan. Definisi itu menurut membuat korban kesulitan membuktikan kekerasan seksual yang mereka alami.
“Jadi kalau perkosaan itu menggunakan alat yang lain, tidak dengan alat reproduksi kadang tidak dianggap sebagai perkosaan. Apalagi harus dibuktikan dengan sperma dan sebagainya,” katanya.
“Padahal orang kalau sudah diperkosa inginnya segera bersih. Gitu kan. Sehingga kadang jadi susah untuk membuktikannya itu,” tambah Alima.