2. Dekrit Presiden
Cara kedua, presiden dapat mengeluarkan dekrit sebagai tindakan revolusioner untuk menunda pemilu. Dekrit itu, kata Yusril, bisa diambil presiden untuk menunda pelaksanaan pemilu sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu.
Baginya, dekrit merupakan revolusi hukum yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat dapat menciptakan hukum yang sah. Tetapi sebaliknya, revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.
Yusril lantas mempertanyakan apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya nyali untuk mengeluarkan dekrit. Ia menduga Jokowi tidak akan melakukan hal demikian karena risiko politik yang terlalu besar.
“Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah keputusan Presiden sebagai panglima tertinggi. Langkah seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi sendiri,” kata dia.
3. Konvensi ketatanegaraan
Jalan terakhir untuk menunda Pemilu yakni dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau ‘constitutional convention’.
Yusril mengatakan, perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 45, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.