Partai Amanat NasionalPartai Demokrasi Indonesia PerjuanganPartai DemokratPartai Gerakan Indonesia RayaPartai Golongan KaryaPartai Kebangkitan BangsaPartai Nasdem

Pembangkangan Pemerintah: Ramai Kritik Penunjukan Pj Kepala Daerah

Pembangkangan Pemerintah: Ramai Kritik Penunjukan Pj Kepala DaerahPartaiku.id – Penunjukan Kepala BIN Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra sebagai Penjabat (Pj.) Bupati Seram Barat menjadi sorotan beberapa waktu belakangan. Pemerintah dinilai membangkang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan yang pertama kali. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi Perludem, Kode Inisiatif, Pusako Andalas, dan Puskapol UI meminta Kemendagri membatalkan penunjukan itu.

Sejauh ini, pemerintah menyatakan bahwa penunjukan itu sesuai aturan. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan penunjukan tersebut dibenarkan oleh undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP) hingga putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Mahfud salah satunya menjelaskan soal putusan MK nomor 15/PUU-XX/2022 terkait uji materi Pasal 201 ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Menurutnya, dalam pertimbangan hukum perkara itu MK menyatakan TNI dan Polri tidak boleh bekerja di institusi sipil kecuali di dalam 10 institusi kementerian yang selama ini sudah ada.

Instansi tersebut antara lain kantor yang membidangi Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), SAR, Sekretaris Militer Presiden.

Kemudian, Pertahanan Negara, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Narkotika Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, dan Mahkamah Agung.

Selain itu, menurutnya, MK juga menyatakan sepanjang anggota TNI dan Polri itu sudah diberi jabatan tinggi madya atau pratama, diizinkan untuk menjadi penjabat kepala daerah.

Senada dengan Mahfud, Juru Bicara MK Fajar Laksono menjelaskan syarat untuk dapat diangkat menjadi Pj kepala daerah adalah menduduki JPT madya untuk gubernur dan JPT pratama untuk bupati.

“TNI aktif kan, dibolehkan untuk menduduki jabatan (JPT) di 10 instansi yang disebutkan dalam UU ASN. Maka, JPT dari TNI aktif di 10 instansi itu secara ketentuan boleh dong (menjadi Pj Kepala daerah),” jelas Fajar.

Namun, sejumlah pakar tidak setuju dengan klaim pemerintah. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Malang,Wiwik Budi Wasito memiliki tafsir berbeda soal putusan MK nomor 15.

Dalam pertimbangan hukum putusan itu, menurutnya MK sudah jelas menyatakan jika merujuk pasal 47 UU TNI, pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

“Pada halaman 50-52 dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menyatakan pada pokoknya TNI/Polri aktif harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas, kemudian dia bisa ikut dalam seleksi yang harusnya itu dilaksanakan demokratis, transparan yang bisa dipertanggungjawabkan,” kata Wiwik saat dihubungi.

Ia mengatakan pertimbangan hukum putusan itu berkaitan dengan putusan pertimbangan hukum putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.

Dalam pertimbangan perkara nomor 67, kata dia, MK menyatakan terkait pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan, harus dilaksanakan dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

“MK pun dalam pertimbangan hukum itu menyatakan pemerintah perlu terbitkan peraturan pelaksana untuk menindaklanjuti amanat konstitusi tadi itu, termasuk menindaklanjuti pasal 201 UU tentang Pilkada,” katanya.

Menurutnya, yang jadi masalah, pertimbangan hukum seringkali diabaikan jika amar putusan menolak permohonan.

“Padahal putusan mahkamah itu satu kesatuan antara pertimbangan hukum dengan amar putusan. Pesan konstitusional atau amanah konstitusional dari putusan mahkamah itu jangan hanya dibaca amar putusan. Tapi alasan uraian hukum yang disampaikan mahkamah dalam pertimbangan hukumnya itu,” katanya.

“Sebenarnya pemerintah sudah diberi jalan yang lapang. Sudah diberikan legalitas oleh mahkamah, cuma tolong perhatikan juga pertimbangan mahkamah itu supaya tindakan konstitusional,” katanya.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro berpendapat serupa. Ia mengatakan pertimbangan hukum putusan MK itu bersifat mengikat dan harus dijalankan.

“Secara eksplisit MK sudah menegaskan bahwa anggota TNI/Polri yang hendak diangkat menjadi penjabat kepala daerah, harus mundur terlebih dahulu dari dinas aktif keprajuritannya. Hal ini disebutkan dalam pertimbangan hukum putusan MK nomor 67 PUU/XIX/2021, yang kemudian diperkuat kembali dalam putusan MK nomor 15 PUU/XX/2022,” kata dia.

Ia mengatakan hal itu seharusnya tidak perlu ditafsirkan lain lagi. Jika pemerintah bersikeras dengan tafsirnya sendiri, menurutnya itu sama saja dengan melakukan pembangkangan terhadap hukum (disobedience of law).

“Tapi pembangkangan terhadap putusan MK yang dilakukan pemerintah ini sih tidak mengherankan. Publik tentu masih ingat dengan putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU cipta kerja inkonstitusional bersyarat, juga diabaikan oleh pemerintah,” katanya.

“Jadi pembangkangan terhadap putusan MK ini bukanlah pertama kalinya dilakukan pemerintah,” imbuhnya.

MK Persoalkan Aturan Pelaksana

Mahkamah Konstitusi mempersoalkan tidak adanya aturan pelaksana sebagaimana diperintahkan dalam Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.

“Hanya memang masalahnya, tidak dibentuk dulu aturan pelaksana sebagaimana diperintahkan Putusan MK,” kata Jubir MK Fajar Laksono saat dihubungi.

Fajar mengatakan peraturan pelaksana itu mengatur lebih lanjut mengenai mekanisme dan syarat yang terukur bagi calon Pj kepala daerah.

“Transparansi, akuntabilitas pengangkatan penjabat kepala daerah, potensial dipertanyakan publik,” kata Fajar.

Dalam sebuah diskusi virtual, Fajar mengatakan peraturan pelaksana ini merupakan bagian dari mandat konstitusional (judicial order) yang termuat dalam putusan MK kepada pemerintah.

MK memerintahkan proses pemilihan Pj kepala daerah tetap harus dilakukan dalam ‘terminologi demokratis’.

“Karena itulah maka MK dalam putusan ini mengatakan untuk terminologi dipilih secara demokratis maka pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana,” kata Fajar.

(yoa/iam/pmg)

 

Show More
Back to top button

Adblock Detect

Please consider supporting us by disabling your ad blocker