Ia melanjutkan, aborsi pun tidak ikut diatur dalam RUU TPKS karena telah diatur dalam Pasal 469 RUU KUHP mengenai pemaksaan aborsi.
“Pemaksaan itu kan berarti tanpa persetujuan. Nah, di dalam RUU KUHP itu adalah perempuan yang tanpa persetujuannya, kemudian dilakukan pengguguran janin dan lain sebagainya masuk dalam konteks tindak pidana,” ujar Eddy.
Sebelumnya, Pemerintah memasukkan aborsi sebagai salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Hal itu diketahui dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah untuk RUU TPK yang tertuang dalam bahan Rapat Panja Senin, 28 Maret 2022.
Dalam DIM dimaksud tertulis: “Kekerasan seksual juga meliputi: f. aborsi”
Muatan tersebut menuai kritik dari Koalisi Save All Women & Girls (SAWG). Koalisi mengaku terkejut dengan muatan tersebut karena sejak tahun 2017 telah mengadvokasi akses layanan kesehatan reproduksi esensial termasuk aborsi aman di Indonesia. Koalisi menilai akan timbul ketidakpastian hukum apabila DIM Pemerintah diakomodasi oleh DPR. Sebab, menurut koalisi, aborsi juga diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Bahaya! Aborsi Dianggap Kekerasan Seksual! Apa Kabar Korban Perkosaan?” seru koalisi dalam keterangan resminya, Rabu (30/3).