“Faktanya di pembentukan UU PPP ini itu tidak dilakukan. Memang ada misalnya FGD ataupun seminar-seminar yang dilakukan tapi kalangan yang ikut terbatas. Padahal di putusan MK 91 dinyatakan bahwa subjek yang mengikuti partisipasi itu harus seluruh masyarakat yang berkepentingan langsung,” kata Imam.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa pengujian materiil dilakukan terhadap beberapa pasal yang berkaitan dengan Omnibus law. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 64 ayat 1a dan 1b serta Pasal 72 dan 73.
“Pasal 64 ayat 1a dan 1b ini tidak berkepastian hukum. Kenapa? Karena di situ tidak dijelaskan atau tidak diatur indikator kapan suatu teknik Omnibus itu bisa digunakan,” ujarnya.
Imam mengatakan Pasal 72 dan 73 UU PPP juga dinilai bermasalah lantaran berpotensi untuk memuluskan masuknya pasal-pasal terselubung. Diketahui, pasal tersebut mengatur tentang undang-undang yang masih bisa diperbaiki meski telah disetujui oleh pemerintah dan DPR.
“Walaupun revisinya itu disebut bahwa revisi terkait dengan teknis penulisan, tapi dalam penjelasan pasal 72 (dan) 73 itu juga tidak disebutkan kesalahan teknis penulisan itu apa ruang lingkupnya,” jelas Imam.