“FGD ini akan menjadi bahan masukan berharga ketika nanti pemerintah mengirimkan DIM untuk didiskusikan. RUU EBET ini nasibnya seperti UU Batubara dulu, dimana banyak pihak yang setuju banyak pula yang tidak setuju. Semua narasumber (pakar energi UGM) menyampaikan bahan yang berbobot dengan perspektif energi masa depan dibangun berdasarkan data dan fakta, memikirkan masa depan dan potensi bangsa Indonesia,” tandas Legislator Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Sementara itu imbuhnya, menurut para pakar energi di UGM dan juga Komisi VII DPR RI setuju banyak manfaat yang luar biasa dari segi pertumbuhan ekonomi, terbukanya lapangan kerja, potensi pengelolaan sumber daya alam. Jika dibiarkan masalah pemanfaatan EBET ini maka negara ini akan bangkrut,” pungkas Gandung.
Peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM Prof Deendarlianto menilai, untuk mencapai target pemerintah mencapai net zero emissions pada 2060 diperlukan peningkatan penggunaan bauran energi EBT 2,32 persen per tahun. Setara 3-4 Giga Watt.
Soal pengembangan manufaktur lokal untuk pengembangan pengunaan energi baru dan terbarukan ini disarankan menyesuaikan dengan area kebutuhan. Contohnya, penggunaan panel surya dengan industri manufaktur berkembang di Jawa dan Riau.