Menurutnya, langkah memasukkan nilai falsafah itu ke dalam UU Provinsi Sumbar sesuai dengan kesepakatan pemerintah dan Komisi II DPR, di mana perubahan regulasi tidak boleh terkait perubahan nama provinsi hingga menuntut status daerah istimewa.
“Pertama untuk mengubah alas hukum ini tidak boleh melakukan perubahan nama provinsi, tidak boleh menuntut daerah istimewa, tidak boleh minta daerah khusus, yang boleh hanya bicara tentang kearifan lokal, kekhasan daerah,” kata Guspardi saat dihubungi.
“Jadi, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah itu adalah kekhasan Sumbar, dia berfilosofikan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,” sambungnya.
Ia menepis masuknya nilai falsafah itu akan membuat Sumbar menjadi sebuah daerah istimewa atau khusus seperti Aceh ataupun provinsi di Indonesia lainnya.
Guspardi menceritakan, permintaan agar Sumbar menjadi daerah khusus sebenarnya pernah disampaikan oleh seorang sosiolog bernama Mochtar Naim sebelum pembahasan perubahan UU Provinsi Sumbar di komisinya.
Ia berkata, ketika itu Mochtar meminta agar Sumbar diubah menjadi Daerah Istimewa Minangkabau.