Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Indonesia Berpotensi Chaos seperti 1998

Indonesia Berpotensi Chaos seperti 1998Partaiku.id – Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi tiga periode menuai protes dan memicu kegaduhan publik. Masyarakat merespons isu ini dengan menolak keras wacana tersebut. Gelombang demonstrasi mahasiswa pun digelar serentak di sejumlah wilayah Indonesia hari ini, Senin (11/4). Mereka menuntut elite-elite politik tidak mengkhianati konstitusi negara dengan menolak penundaan Pemilu 2024 maupun perpanjangan masa jabatan presiden melalui amendemen.

Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Jati, mengatakan, aksi menolak wacana tersebut wajar dilakukan oleh mahasiswa. Pasalnya, menurut dia, wacana perpanjangan masa jabatan atau penundaan Pemilu 2024 berpotensi menimbulkan kekacauan sosial yang berujung pada ketidakstabilan keamanan.

“Dampak realisasi wacana tiga periode berdampak langsung pada potensi kekacauan sosial dalam skala besar yang justru menimbulkan instabilitas keamanan,” kata Wasisto saat dihubungi, Senin (11/4).

Wasisto menjelaskan, potensi kekacauan sosial itu dapat terjadi apabila pemerintah merealisasikan wacana tersebut. Pasalnya, pemerintahan hasil pemilu tidak mengembalikan mandat kekuasaannya pada publik setelah masa jabatannya rampung.

“Sehingga berpotensi memunculkan gerakan people power,” imbuhnya.

Mengenai aksi demonstrasi hari ini, menurut dia, wajar apabila mahasiswa menolak wacana tiga periode. Kendati begitu, ia mengingatkan agar jangan sampai aksi demonstrasi ini ditunggangi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

“Jangan sampai aksi demonstrasi ini kemudian ditunggangi kepentingan politik tertentu, sehingga berkembang menjadi gerakan makar penggulingan pemerintahan hasil pemilu,” papar dia.

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, juga berpendapat bahwa potensi kerusuhan besar tak bisa terelakkan apabila wacana Presiden tiga periode terealisasi. Menurutnya, hal ini dikarenakan rakyat sudah muak dengan cara kekuasaan yang tidak partisipatif.

Ia khawatir kerusuhan besar seperti tahun 1998 terulang kembali di masa Jokowi.

“Rakyat ini ibaratnya sudah muak, dengan cara kekuasaan yang cenderung tidak partisipatif, seenaknya. Oleh karena itu, ketika ini direalisasikan, mohon maaf, kelihatannya akan terjadi chaos,” kata Ujang.

Jika terjadi kekacauan sosial, buntutnya, bukan tidak mungkin militer mengintervensi pemerintahan. Hal ini, kata Ujang, juga harus dihindari, karena demokrasi bisa terancam apabila militer turun tangan ke dalam pemerintahan.

“Itu lah yang berbahaya bagi bangsa ini. Kalau militer sudah turun kan bahaya lagi, demokrasi terancam,” paparnya.

Jokowi sebetulnya sudah beberapa kali merespons wacana perpanjangan masa jabatan maupun penundaan pemilu. Jokowi bahkan secara terang-terangan meminta para pembantunya di Kabinet Indonesia Maju (KIM) untuk setop bicara masalah perpanjangan masa jabatan.
Teranyar, Jokowi menegaskan bahwa Pemilu 2024 tetap digelar 14 Februari 2024 sebagaimana kesepakatan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu.

Meski Jokowi sudah menyampaikan sikapnya, menurut Ujang hal itu belum cukup. Pasalnya, masyarakat menilai Jokowi masih belum tegas dalam menyikapi permasalahan tersebut.

“Untuk mengunci rapat persoalan penundaan, perpanjangan, maupun tiga periode, itu mestinya Pak Jokowi dengan klir jelaskan kepada rakyat dan mahasiswa bahwa di masa kepemimpinannya tidak akan dan tidak akan pernah ada amendemen konstitusi,” ujar Ujang.

“Kalau itu diucapkan Jokowi, selesai semua perdebatan yang ada hari ini,” imbuhnya.

Sementara itu, menurut Wasisto, penjelasan Jokowi mengenai penolakan wacana penundaan Pemilu 2024 maupun perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode seharusnya bisa meredam bibit-bibit kekacauan sosial tersebut.

“Kalau kita simak penjelasan presiden kemarin yang tegas bahwa Pemilu digelar pada 2024, seharusnya pernyataan tersebut sudah bisa meredam bibit-bibit awal kekacauan sosial tersebut,” ujar Wasisto.

Di sisi lain, hal itu sebenarnya juga sudah bisa menyudahi manuver elit politik lain agar tidak menyulut api dalam sekam. Terlebih dalam kondisi pandemi virus corona (Covid-19) dan masalah ekonomi seperti saat ini.

Kendati begitu, pernyataan Jokowi tersebut dianggap masih belum bisa memuaskan seluruh masyarakat. Menurut Wasisto, faktor lain turut memengaruhi pandangan masyarakat.

Di antaranya, masyarakat masih geram dengan pemerintah yang tak bisa menstabilkan harga pangan dan kelangkaan bahan-bahan pokok di pasar.

“Ketidakpuasan masyarakat tersebut merupakan puncak dari serangkaian kenaikan harga dan langkanya kebutuhan dasar yang muncul bersamaan dengan wacana tiga periode sehingga menimbulkan gelombang antisimpatik pada pemerintahan,” ujarnya.

(dmi/gil)

 

Show More
Back to top button

Adblock Detect

Please consider supporting us by disabling your ad blocker