Partai Amanat NasionalPartai Demokrasi Indonesia PerjuanganPartai DemokratPartai Gerakan Indonesia RayaPartai Golongan KaryaPartai Kebangkitan BangsaPartai Nasdem

Kelompok Kerja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas Temukan Pasal Bermasalah dalam Draf RUU TPKS

Kelompok Kerja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas Temukan Pasal Bermasalah dalam Draf RUU TPKSPartaiku.id – Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sebelumnya, Baleg DPR bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) berencana melakukan pengambilan tingkat I pada hari ini, Rabu (6/4). Pengambilan keputusan tingkat I itu akan menentukan RUU TPKS itu bakal atau tidak diusulkan ke Rapat Paripurna untuk disahkan jadi undang-undang.

Namun, Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi UU Penyandang Disabilitas menilai sejumlah pasal yang terkandung di RUU TPKS masih problematik alias bermasalah. Utamanya, sambung mereka, terkait dengan penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi atau korban penyandang disabilitas yang tercantum di dalamnya.

“Namun begitu, berdasarkan draf terbaru tersebut, masih ada ketentuan yang problematik,” kata Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi UU Penyandang Disabilitas dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu (6/4).

Salah satu pasal bermasalah itu adalah pada Pasal 25.Mereka membeberkan, draf Pasal 25 ayat (4) yang mengatur, ‘Penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan Saksi dan/atau Korban Penyandang Disabilitas dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani dan kesesuaian dengan alat bukti lainnya dengan memperhatikan kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas’.

Koalisi menilai pasal itu tidak mencerminkan bentuk pelindungan, tapi justru menjatuhkan nilai keterangan dari saksi atau korban penyandang disabilitas. Mereka melihat draf yang ada justru menjatuhkan nilai keterangan dari saksi atau korban penyandang disabilitas.

Koalisi menilai, aturan itu berlebihan karena tanpa dituliskan pun hakim wajib melakukannya terhadap keterangan dari saksi atau korban manapun, baik disabilitas maupun nondisabilitas.

“Dengan pencantumannya dalam pasal ini menunjukan bahwa pembentuk RUU TPKS sudah memandang rendah terhadap nilai keterangan dari saksi atau korban penyandang disabilitas. Hal itu merupakan bentuk dari tindakan diskriminasi,” ujar koalisi.

Kemudian, draf Pasal 25 ayat 5 yang mengatur, ‘Dalam hal Saksi dan/atau Korban merupakan Penyandang Disabilitas mental dan/atau intelektual, hakim wajib mempertimbangkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa atas kecakapan mental dan/atau intelektual Saksi dan/atau Korban untuk menjalani proses peradilan pidana dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan Saksi dan/atau Korban tersebut’.

Koalisi menilai, pembentuk RUU TPKS keliru memahami dan menempatkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa sebagai bentuk dari penilaian personal. Seharusnya, kata koalisi, hasil pemeriksaan itu dijadikan oleh hakim sebagai dasar menyediakan akomodasi yang layak bagi saksi atau korban penyandang disabilitas.

“Tujuannya mendukung penyandang disabilitas untuk menghilangkan hambatan yang dihadapinya dalam memberikan keterangan sebenar-benarnya dengan mandiri,” katanya.

“Dengan begitu, tidak akan ada nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi atau korban penyandang disabilitas yang dilemahkan atau dihilangkan karena hasil suatu pemeriksaan kesehatan jiwa,” sambung koalisi.

Selanjutnya, draf Pasal 25 ayat 6 yang mengatur, ‘Keterangan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib didukung dengan penilaian personal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan’.

Mereka menilai pasal ini juga sebagai bentuk kekeliruan pembentuk RUU TPKS dalam memahami fungsi dari penilaian personal bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Koalisi berkata, penilaian personal seharusnya dimaknai sebagai dasar penyediaan akomodasi yang layak, bukan alat untuk mengukur nilai keterangan saksi atau korban.

Koalisi menilai RUU TPKS ini seharusnya mampu mendukung penyandang disabilitas untuk memberikan keterangan terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpanya, apapun kondisinya.

Aparat penegak hukum pun seharusnya menjadi pihak yang mampu mendukung upaya untuk menghilangkan segala hambatan.

“Hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam memberikan keterangan sebenar-benarnya dengan mandiri,” ujar koalisi.

Dengan adanya pasal yang diskriminatif inilah, lanjut koalisi, seharusnya pembahasan RUU TPKS belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan. Untuk itu, koalisi meminta DPR dan pemerintah membuka kembali pembahasan atas Pasal 25 ayat 4, 5, dan 6 ini dengan mendengarkan penjelasan dari koalisi organisasi penyandang disabilitas.

Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi UU Penyandang Disabilitas terdiri dari enam organisasi, yaitu Pusat Pemilu untuk Aksesblitas Penyandang Disabilitas (PPUA), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), dan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI).

Berikutnya, Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

(mts/kid)

Show More
Back to top button

Adblock Detect

Please consider supporting us by disabling your ad blocker