Menurut Atha, lamanya penyelesaian masalah pembangunan huntap bagi warga penyintas, mengindikasikan bahwa ada ketidakberesan yang terus menerus dibiarkan jadi berlarut. Seolah negara melalui Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah tidak mampu menunaikan kewajiban konstitusionalnya dalam memenuhi hak warga korban bencana.
“Saya kira, hampir tiga tahun dan tiga Ramadan ini adalah batas waktu toleran bagi Pemerintah Pusat dan daerah. Cukup sudah bermain-main dengan soal kemanusiaan. Sudahi itu, segera tuntaskan huntap yang jadi hak warga,” tegas Atha.
Sedangkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan durasi waktu dua tahun telah berakhir sesuai dengan Inpres Nomor 10 tahun 2018 tentang percepatan rehab-rekon pascabencana gempa dan tsunami di Provinsi Sulteng.
Menurut orang pertama NasDem di Sulteng itu, sudah semestinya ada upaya luar biasa dilakukan. Evaluasi menyeluruh dilakukan terhadap program rehab-rekon di Sulteng setelah Inpres Nomor 10 tahun 2018 berakhir masa berlakunya di tahun 2020 sebagai panduan yuridis dalam penanganan pasca bencana di Sulteng.
“Urgensi evaluasi menyeluruh dipandang penting sebab nampak nyata kegagalan dalam memenuhi tenggat waktu sebagaimana dipersyaratkan dalam Inpres Nomor 10 tahun 2018 tersebut. Tidak hanya pada siapa pihak yang bertanggungjawab di soal apa, tapi yang terpenting adalah tranparansi dan integritas dalam penyaluran triliunan rupiah alokasi anggaran negara,” ujarnya.