Alima membantah pengaturan dua poin tersebut dalam RUU TPKS akan tumpang tindih, sebab hal itu bisa diatur kemudian.
Sementara, menurut dia, selama RKUHP belum disepakati, keputusan untuk menggantungkan pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi justru akan terus merugikan korban terutama perempuan.
Pemerintah lewat Wamenkumham sebelumnya menargetkan RKUHP akan disahkan pada Juni mendatang. RUU yang sempat menuai penolakan massal dari masyarakat sipil pada 2019 itu kini pada tahap pengesahan tingkat satu di pleno DPR, sebelum resmi menjadi undang-undang lewat mekanisme rapat paripurna.
Menurut Alima, DPR dan pemerintah mestinya mempertimbangkan ulang memasukkan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dalam RUU TPKS sebagai penguatan payung hukum. Sebab, karena hanya lewat RUU TPKS korban bisa mendapat jaminan pemulihan dan perlindungan.
“Dengan tujuan menguatkan payung hukum, maka mempertimbangkan ulang pengaturan tentang perkosaan dan pemaksaan aborsi perlu menjadi salah satu langkah utama,” kata dia, Selasa (5/4).
Alima menerangkan kasus kekerasan seksual termasuk tertinggi yang diterima Komnas Perempuan selama 2021, mencapai hampir 30 persen. Pihaknya menduga jumlah itu lebih tinggi, karena mayoritas dari kekerasan seksual merupakan kasus pemerkosaan.