“Kendatipun, dalam konteks hubungan di luar perkawinan, muatan pasal pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa (DIM 74) juga tumpang tindih dengan rumusan Pasal Perbudakan Seksual (DIM 100),” tulis ICJR.
Lembaga advokasi itu juga menekankan pada rumusan pasal Pemaksaan Perkawinan perlu memuat unsur yang jelas dan ketat soal ketiadaan persetujuan dalam perkawinan.
Seperti misalnya ketidakberdayaan korban, ketidakcakapan korban untuk memahami dampak dari terikat dalam suatu perkawinan, serta perkawinan yang tidak diketahui oleh korban atau perkawinan yang dilakukan berdasarkan tipu daya, penjeratan hutang, maupun ancaman kekerasan terhadap diri atau keluarga.
Lebih lanjut, ICJR dan PUSKAPA juga menyinggung soal aturan barang bukti yang ditetapkan dalam DIM No. 171. Menurut mereka, aturan tersebut berpotensi disalahgunakan dan melanggar prinsip KUHAP. Sebab, dengan aturan itu, orang dapat dengan mudah dipidana hanya menggunakan bukti yang minim.
“Ketentuan ini membahayakan prinsip peradilan yang adil. Agaknya tidak perlu memasukkan rumusan DIM No. 171. cukup pengaturan 1 saksi diperbolehkan jika disertai dengan alat bukti lain, namun alat bukti lain dijamin menyertakan alat bukti visum psikiatrikum atau surat keterangan pemeriksaan psikologis korban,” demikian tertulis dalam laporan kajian mereka.