Partaiku.id – Sekjen DPP PSI Dea Tunggaesti mengatakan RUU KUHP ini membuka peluang disahkannya hukum adat atau norma lokal yang bersifat diskriminatif.
“Sebagai perempuan, saya khawatir kelak atas nama norma adat atau ke-lokal-an muncul aturan mengenai pembatasan perempuan. Misalnya soal cara berpakaian perempuan atau larangan keluar malam. Data Komnas Perempuan pada 2018 mencatat ada 421 kebijakan di tingkat lokal yang bersifat diskriminatif,” kata Dea.
PSI menolak living law dimasukkan ke dalam Pasal 2 RKUHP mengingat kemajemukan SARA di Indonesia, sifat-hakikat hukum adat yang tidak tertulis, magis, dan dinamis, sampai potensi over-criminalization.
“Selain itu, langkah memasukkan pasal living law bukanlah memuliakan masyarakat adat, melainkan negara mencoba mengambil peranan aturan masyarakat adat. Negara dapat memuliakan masyarakat adat dengan segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, bukan dengan membakukan hukum adat dan mengambil alih otoritas masyarakat adat,” kata doktor Ilmu Hukum dari Unpad ini.
Terakhir, Dea menyatakan, memasukkan living law juga berpotensi melanggar Pasal 28G ayat 1 UUD 1945 karena aturan adat yang berbeda antar satu daerah dengan yang lain dan ini berpotensi membuat warga takut untuk bertindak sesuai hak asasinya.