Berita PilihanPartai Kebangkitan Bangsa

Cak Imin Mengincar 8 Kursi Menteri

Setelah ditetapkan kembali menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang di tetapkan melalui Muktamar beberapa hari lalu, kini Cak Imin mulai menggencarkan misi-nya.

Namun, cara Cak Imin untuk terus berkuasa, khususnya dalam mempertahankan kursi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terkesan agresif.

Menurut sudut pandang Niccolo Machiavelli, hanya ada dua hal yang penting bagi seorang penguasa politik, yaitu bagaimana cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.

Oleh karenanya, agar dapat memenuhi dua hal tersebut seorang pemimpin boleh menggunakan segala macam cara, sekalipun harus mengesampingkan moral.

Lalu, apakah Cak Imin adalah seorang Machiavellian?

Oligarki Yang Merangkul?

Jika melihat rekam jejak Cak Imin di dunia perpolitikan Indonesia, bisa dibilang dirinya merupakan sosok yang ambisius dan agresif.

Kedudukannya di kursi ketua umum PKB diawali dengan perselisihannya dengan sang pendiri partai yang sekaligus pamannya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Perselisihan ini berujung pada gugatan Cak Imin di pengadilan terhadap keputusan Gus Dur yang memecat dirinya dari keanggotaan PKB.

Kemudian di tahun yang sama, guna merebut kursi Ketua Umum PKB dari Gus Dur, Cak Imin membuat Musyawarah Luar Biasa (MLB) PKB tandingan sehari setelah Gus Dur mengadakan MLB.

Pada akhirnya sejak 2008, Gus Dur “terusir” dari PKB dan sejak saat itu Cak Imin-lah yang berkuasa. 

Manuver politik Cak Imin terhadap Gus Dur ini membuat hubungan dirinya dengan para pengikut Gus Dur atau para Gusdurian menjadi buruk, bahkan hingga detik ini.

Di antaranya adalah putri-putri Gus Dur, Allisa Wahid dan Yenny Wahid yang hingga saat ini kuat menentang kekuasaan politik Cak Imin. Dalam banyak kesempatan, keduanya juga mengkritik perilaku politik PKB.

Allisa misalnya, pernah mengkritik PKB karena menyeret Nahdlatul Ulama (NU) – yang memang identik dengan PKB – ke dunia politik praktis. Hal serupa diutarakan Yenny yang sering mengingatkan NU agar tidak terlibat dalam politik praktis, apalagi minta jatah menteri.

Ya, di bawah kepemimpinannya, Cak Imin berhasil mengkonsolidasikan kekuatan NU demi kepentingan politik PKB. Bahkan baru dalam Pilpres 2019 untuk pertama kalinya NU secara terbuka mendukung PKB.

Startegi Cak Imin yang menyeret NU ke dalam politik praktis ini lagi-lagi bertentangan dengan pandangan Gus Dur yang tidak ingin mengaitkan agama dengan politik partai.

Hubungan yang buruk dengan Gusdurian ini membuat Cak Imin terus berusaha menyingkirkan Gusdurian. Hal ini terlihat jelas dengan tidak pernah diundangnya Gusdurian, terutama putri-putri Gus Dur, ke Muktamar PKB sejak 2008.

Bukan hanya Gusdurian, ambisi Cak Imin untuk menyingkirkan pesaingnya juga terlihat dengan tidak diundangnya dua mantan Sekjen PKB ke Muktamar 2019.

Tidak berhenti di situ, bahkan Cak Imin dikabarkan akan mempertimbangkan usulan untuk menghapus posisi sekjen di PKB.

Cak Imin juga memutuskan untuk mengganti nama panggilannya menjadi “Gus Ami”. Pergantian nama dengan memilih gelar “gus” ini ditengarai menjadi strategi Cak Imin lainnya untuk menguatkan posisi politiknya di PKB maupun NU, mengingat nama tersebut adalah sebutan yang prestisius untuk anak dari kiai yang mengelola pesantren.

Manuver-manuver politik Cak Imin di atas memberikan sinyal bahwa pria kelahiran Jombang, Jawa Timur tersebut ingin menjadi satu-satunya penguasa di PKB atau dengan kata lain Cak Imin ingin menjadi oligarki politik.

Sementara untuk manuver Cak Imin di luar PKB dan NU, dalam beberapa kesempatan ia mengajak beberapa politikus dan kader partai lain untuk bergabung ke PKB.

Sebut saja Sandiaga Uno, lalu ada Grace Natalie dan Yusril Ihza Mahendra yang nota bene merupakan Ketua Umum PSI dan PBB, semuanya diajak masuk PKB oleh Cak Imin. 

Selain sikap mengajak di atas, Cak Imin juga bisa menunjukkan sikap agresif. Ia misalnya terlihat sangat ambisius dan percaya diri bahwa dirinya yang akan dipilih sebagai cawapres Jokowi untuk Pilpres 2019.

Bahkan Cak Imin pernah mengeluarkan “ancaman” bahwa Jokowi  tidak akan menang Pilpres jika tidak memilih cawapres dari NU.

Agresivitas ini masih berlanjut dalam bursa menteri kabinet baru Jokowi-Ma’ruf Amin. PKB menjadi salah satu partai yang meminta kursi menteri terbanyak.

Juli 2019 lalu, PKB sudah meminta jatah 10 kursi menteri kepada Jokowi. Kemudian pada muktamar kemarin, PKB nampaknya meminta 8 kursi menteri, mulai dari menteri bidang sumber daya alam, budaya, hingga agama, dengan alasan untuk menangkal radikalisme.

Permintaan delapan menteri ini cukup ambisius mengingat belum lama ini Jokowi sudah mengatakan bahwa dalam kabinet barunya nanti kader parpol hanya dapat menduduki 45 persen kursi menteri atau sekitar 15 posisi saja.

Jumlah kursi yang dapat dikuasai PKB juga semakin sedikit ketika pada Kongres PDIP dua minggu lalu, Jokowi sudah menjanjikan bahwa PDIP akan mendapatkan porsi kabinet terbesar, bahkan bisa dua kali lipat dari partai lain.  

Meskipun manuver-manuver politiknya menuai kontroversi, layaknya pandangan Machiavelli, apa yang dilakukan Cak Imin memang berhasil mempertahankan dan meningkatkan kekuatan politik PKB.

Fakta berbicara bahwa di bawah kepemimpinannya, PKB semakin sukses dalam hal kekuatan elektoral yang terus bertambah sejak Pileg 2009. Bahkan pada Pileg 2019, PKB mampu menjadi partai dengan perolehan suara terbesar keempat setelah PDIP, Gerindra dan Golkar.

Lalu, apa yang sebenarnya ingin Cak Imin capai dengan semua manuver politik di atas?

Melihat ambisinya yang sangat tinggi untuk menjadi cawapres Jokowi, bisa jadi Cak Imin masih belum puas dengan posisinya sekarang dan akan langsung mengincar jabatan presiden, mungkin di Pilpres 2024 mendatang.

Dalam kajian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, sosok Cak Imin disebut-sebut layak menjadi capres 2024. Hal serupa juga dikatakan oleh Ketua DPP PKB Jazilul Fawaid. Ia mengatakan bahwa Cak Imin sudah pantas jika maju sebagai capres di 2024 nanti.

Ambisi di 2024 juga semakin diperlihatkan pada Muktamar PKB.

Cak Imin mengatakan bahwa di 2024, PKB akan menjadi partai papan atas, partai nasionalis agamis terkuat dan terbesar di Indonesia, serta meraih “kemenangan nomor 1”. Sangat mungkin kemenangan nomor 1 yang dimaksud adalah posisi tertinggi di republik ini.

Show More
Back to top button

Adblock Detect

Please consider supporting us by disabling your ad blocker