“Ketika konflik itu enggak sempat konsolidasi, enggak sempat untuk turun ke pemilih. Sibuk ribut dengan sesama mereka sendiri, jadi energinya habis. Yang kedua, kasus-kasus konflik segala macam menurunkan trust dari masyarakat,” ujarnya.
Selain itu dia menilai strategi Golkar dianggap belum tepat. Dia mencontohkan sebelumnya Golkar memiliki mekanisme dimana pengambilan keputusan kepala daerah bersifat objektif dan profesional, berdasarkan survei dan setiap keputusan di rapatkan.
“Kalau ada tokoh Golkar yang populer dan sangat menonjol itu rapatnya nggak sampai 5 menit udah ketuk palu kecuali ada dua orang yang elektabilitasnya sangat kuat, tapi intinya ada sebuah mekanisme yang berjalan,” sambungnya.
Kemudian, ia menilai sosok ketum Golkar haruslah tekun, yang mau berkontribusi besar kepada partainya. Dia mencontohkan misalnya tokoh yang mudah berkomunikasi dengan kader di daerah dan di pusat.
“Ketum Golkar itu harus tekun, harus rajin merawat Partai Golkar. Harus punya waktu yang banyak buat Partai Golkar, harus punya kerendahan hati untuk mau berkomunikasi dengan tokoh Partai Golkar baik pusat dan daerah. Singkatnya ketum Golkar itu harus orang yang mudah di hubungi dan mudah menghubungi, sehingga dia bisa melakukan koordinasi, bisa memainkan peran sebagai konduktor,” ungkapnya.