Sementara itu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengkritik keputusan pemerintah dan DPR menghapus ketentuan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dari draf RUU TPKS.
Sebaliknya, kata Maidina, pihaknya justru mendorong agar pengaturan soal pemerkosaan cukup diatur lewat RUU TPKS, bukan RKUHP.
Tak hanya pasal pemerkosaan, ICJR juga mendorong pemaksaan aborsi diatur lewat RUU TPKS. Jika karena dalih tumpang tindih aturan, Maidina menyebut ada bentuk kekerasan seksual lain yang juga diatur dalam UU lain di luar RUU TPKS.
Sehingga, kata dia, dalih tumpang tindih aturan untuk menghapus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dari RUU TPKS tak relevan.
“Hal yang sama juga tentang pemaksaan aborsi, iya memang diatur dalam KUHP juga, tapi di RUU TPKS yang kemarin disahkan, ada juga listing kekerasan seksual di UU lain kan,” kata Maidina saat dihubungi, Selasa (5/4).
Pihaknya Khawatir selama RKUHP belum disahkan, maka jenis kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan aborsi hanya dikategorikan sebagai perbuatan cabul. Sebab, KUHP hanya mendefinisikan perbuatan cabul selama alat vital laki-laki tak dipenetrasikan ke vagina.