Konsekuensinya, hukuman terhadap pelaku akan lebih ringan. Selain itu, kata dia, korban juga tidak akan mendapat perlindungan hingga pemulihan sesuai hukum yang telah diatur dalam RUU TPKS.
“Implikasinya hukumannya akan lebih ringan. Kalau pemaksaan aborsi bukan sebagai kekerasan seksual dalam RUU TPKS, korban pemaksaan aborsi tidak akan mendapatkan hak dan hukum acara sesuai RUU TPKS,” kata Maidina.
Dalam kajian bersamanya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) menilai ada ketidakjelasan mengenai tingkatan perbuatan yang dilarang dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Kedua organisasi itu mengatakan beberapa unsur pidana yang diatur dalam RUU TPKS mirip. Menurut mereka, hal itu perlu ditinjau kembali dan dilakukan penyesuaian.
“Sebelumnya telah disepakati DIM 73 tentang pelecehan seksual fisik dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya, DIM 74 tentang pelecehan seksual fisik atas dasar penyalahgunaan relasi kuasa, DIM 82 tentang pemaksaan perkawinan, dan DIM 100 tentang perbudakan seksual,” bunyi keterangan resmi ICJR, yang dikutip dari situs resmi ICJR, Senin (4/4).